Kabupaten yang dahulu lebih dikenal dengan sebutan SARKO ( Sarolangun Bangko ) merupakan awal mula
dari perjalanan panjang sejarah Kabupaten Merangin. Dengan menganut sistem pemerintahan igo ( sistem pemerintahan secara adat ) maka Kabupaten Merangin dipimpin oleh seorang Pasirah atau Kepala Marga yang bertugas untuk mengatur sistem pemerintahan yang terdapat didalamnya.
Dalam pembahasan tentang peran pasirah, istilah kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang yang dilihat sebagai pemimpin untuk mempengaruhi orang yang dipimpinnya, sehingga orang yang dipimpin tersebut bertingkah-laku sebagaimana yang dikehendakinya. Untuk menggunakan istilah ini, perlu dibedakan kepemimpinan sebagai kedudukan dengan kepemimpinan sebagai proses sosial. Sebagai suatu kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kumpulan dari kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang dapat dimiliki seseorang atau suatu badan, sedangkan sebagai proses sosial kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang yang menyebabkan gerak dari masyarakat (Soekanto, 1978: 178-179).
Apabila melihat kepemimpinan sebagai sebuah kedudukan, seorang pasirah memiliki hak-hak dan kewajiban yang dijamin oleh aturan-aturan adat. Jaminan adat tersebut sebagian tertulis dalam Undang-Undang Simbur Cahaya, sedangkan sebagian yang lain merupakan aturan-aturan yang beragam dan berbeda di setiap marga. Isi undang-undang tersebut lebih banyak menekankan hak-hak penguasa daripada kewajiban-kewajibannya dan lebih menekankan kewajiban-kewajiban penduduk biasa ketimbang hak-hak mereka dalam berbagai kegiatan dan tindakan.
Adapun bila melihat kepemimpinan sebagai sebuah proses sosial, kekuasaan dan wewenang yang dimiliki para pasirah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang ditaati oleh warga marga, meskipun ketaatan-ketaatan tersebut sering berupa sikap toleransi terhadap penyalahgunaan aturan-aturan adat oleh pasirah. Seorang pasirah, karena itu, memiliki pengaruh dan wibawa yang besar dan menyentuh setiap dusun di dalam marganya. Wajar saja apabila pemerintah kolonial berusaha membatasi kekuasaan para pasirah melalui berbagai aturan pemerintah.
Usaha pemerintah kolonial tersebut seiring dengan usaha merasionalisasi wewenang para pasirah. Dengan kedua macam usaha itu, para pasirah secara langsung ingin difungsikan sebagai pihak perantara (The Middle Men) pemerintah dengan rakyat pada tingkat marga.
Nama-nama Pasirah dan masa jabatan yang pernah menjabat sebagai Kepala Marga Batin IX di Ulu adalah:
Biuku Tanjung
Bedeng Rejo ( Bedeng Buai )
Pulau Rengas
Kungkai Jaya
Pasar Bangko dan Sekitarnya
Dusun Bangko
Dusun Mudo
Pulau Rengas dipilih sebagai pusat pemerintahan yang di kepalai oleh seorang Kepala Desa dan Mangku sebagai wakil yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintah pusat dan merencanakan kegiatan pembangunan dan pembinaan masyarakat. struktural pemerintah ini juga diisi oleh beberapa jabatan penting lainnya seperti Kodi ( Pemimpin Agama ) atau wali hakim yang membawahi pegawai syarak, terdiri dari katip , imam , dan bilal yang bertugas untuk setiap hal yang berhubungan dengan syari'ah agama islam, akan tetapi setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa maka penyelenggaraan pemerintahan dengan sistem adat ( igo ) tidak lagi digunakan.
Masalah kekurangan pangan dan diskriminasi HAM menjadi pemandangan yang wajar selama masa penjajahan Jepang di indonesia khususnya di Bangko,kurangnya akses dan fasilitas memadai bagi penduduk pribumi yang rata rata hanya berstatus sebagai rakyat biasa membuat sebagian besar pemuda Bangko lebih memilih bergabung menjadi anggota militer pemerintahan seperti Giyigun, Heiho, dan Kepolisian. Tanpa harus tau apa yang harus diperjuangkan dan siapa yang harus dibela, para pemuda hanya berusaha untuk mempertahankan hidup dan mengangkat status sosial keluarga mereka dimata masyarakat pada umumnya.
M. Thambi mejabat sebagai "Hanjo Diri" yaitu orang yang bertugas melatih dan merekrut para pemuda dalam bidang kemiliteran yang bertempat di Pasar Bangko. selain itu beliau juga termasuk kedalam pasukan rahasia dari Giyigun (義勇軍 giyûgun) dan Heiho. Para pemuda inilah nantinya yang akan menjadi anggota BKR , TKR , dan TNI setelah Kemerdekaan.
Pada mulanya Giyugun digunakan untuk mendidik penduduk Indonesia dalam menghadapi tentara Sekutu pada masa Perang Dunia Kedua. Namun umumnya mereka yang telah mendapat pendidikan di Giyugun menggunakan ilmu mereka untuk menghadapi Belanda dalam perang pasca kemerdekaan.
Untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan, maka diseluruh penjuru negeri termasuk Merangin membentuk kesatuan yang dikenal dengan nama PRB ( Pemuda Rakyat Bangko ) yang dipimpin oleh M. Thalam dan Ali Ajad yang bertugas untuk :
pada tahun 1947 - 1949 dibentuklah Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta ( Permesta ) yang bertujuan untuk membela rakyat dari kekacauan yang datang dari pihak kesatuan perlawanan luar yang dipimpin langsung oleh Pesirah Zakaria Kasim.
Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado.
Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur.
Berdasarkan hasil Putusan Sidang Komite Nasional Indonesia (K.N.I) Sumatera di Bukit Tinggi tahun 1946 , ditetapkan bahwa Pulau Sumatera di bagi menjadi tiga sub Propinsi 15 April 1946
Kabupaten Batang Hari | 5.804,83 km2
Kabupaten Merangin | 43,45 jiwa/km2
Kabupaten Kerinci | 68,4 jiwa/km2
Dalam perjalanan sejarah, dengan dibentuknya Propinsi Daerah Tingkat I Jambi, yang sekaligus juga dibentuknya Kabupaten Merangin (wilayahnya saat itu adalah Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Bungo Tebo) yang beribukota di Bangko. Kemudian ibukota Kabupaten Merangin dipindahkan ke Muara Bungo yang diputuskan melalui sidang DPRD.
Dengan adanya pemekaran wilayah sesuai dengan UU No. 54 tahun 1999 pembentukan Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, maka wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko dimekarkan menjadi dua yaitu Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin. Kabupaten Sarolangun beribukota di Sarolangun dan Kabupaten Merangin beribukota di Bangko. Dasar pembentukan wilayah Kabupaten Merangin adalah Undang-undang Nomor 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muara Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (LN tahun 1999 Nomor 182, TLN Nomor 39030). Kabupaten Merangin merupakan Pengembangan dari Kabupaten Sarolangun Bangko dan hari jadinya tanggal 5 Agustus 1965.
Sumber :
Permesta , Guyigun , Haiho , Merangin , Ensiklopedia
Natamarga, Rimbun. Kedudukan dan Peran Pasirah Dalam Kepemimpinan Tingkat Marga di Pedalaman Palembang 1825 - 1942
Hj. Subhan | Efprianto S.Pd M.Pd | Halo Merangin
dari perjalanan panjang sejarah Kabupaten Merangin. Dengan menganut sistem pemerintahan igo ( sistem pemerintahan secara adat ) maka Kabupaten Merangin dipimpin oleh seorang Pasirah atau Kepala Marga yang bertugas untuk mengatur sistem pemerintahan yang terdapat didalamnya.
Sejarah Kabupaten Merangin |
Dalam pembahasan tentang peran pasirah, istilah kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang yang dilihat sebagai pemimpin untuk mempengaruhi orang yang dipimpinnya, sehingga orang yang dipimpin tersebut bertingkah-laku sebagaimana yang dikehendakinya. Untuk menggunakan istilah ini, perlu dibedakan kepemimpinan sebagai kedudukan dengan kepemimpinan sebagai proses sosial. Sebagai suatu kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kumpulan dari kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang dapat dimiliki seseorang atau suatu badan, sedangkan sebagai proses sosial kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang yang menyebabkan gerak dari masyarakat (Soekanto, 1978: 178-179).
Kitab Simbur Cahaya merupakan kitab undang-undang hukum adat, yang merupakan perpaduan antara hukum adat yang berkembang secara lisan berlandaskan syariat Islam . Typ. Industreele Mlj. Palembang, 1922"Pada masa kesultanan, yakni sebelum ada usaha kodifikasi dari pihak pemerintah kolonial Belanda yang dimulai pada tahun 1852, undang-undang tersebut banyak menguntungkan pihak kesultanan di ibukota (Zed, 2003: 51). Setelah sistem kesultanan dihapuskan, tradisi adat tersebut beralih ke tangan para pasirah. Akibat lebih lanjut adalah seorang pasirah tampil sebagai seorang yang berkuasa pada tingkat marga (Faille, 1971: 43).
Adapun bila melihat kepemimpinan sebagai sebuah proses sosial, kekuasaan dan wewenang yang dimiliki para pasirah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang ditaati oleh warga marga, meskipun ketaatan-ketaatan tersebut sering berupa sikap toleransi terhadap penyalahgunaan aturan-aturan adat oleh pasirah. Seorang pasirah, karena itu, memiliki pengaruh dan wibawa yang besar dan menyentuh setiap dusun di dalam marganya. Wajar saja apabila pemerintah kolonial berusaha membatasi kekuasaan para pasirah melalui berbagai aturan pemerintah.
Usaha pemerintah kolonial tersebut seiring dengan usaha merasionalisasi wewenang para pasirah. Dengan kedua macam usaha itu, para pasirah secara langsung ingin difungsikan sebagai pihak perantara (The Middle Men) pemerintah dengan rakyat pada tingkat marga.
Nama-nama Pasirah dan masa jabatan yang pernah menjabat sebagai Kepala Marga Batin IX di Ulu adalah:
- Abdul Rahman Sumodiharjo, 1945 - 1956 "Pasirah pertama Kab. Merangin"
- Zakaria Kasim, 1946 – 1957
- M.Daud , 1957 – 1958 "Anggota TNI yang diangkat menjadi Pasirah dan meninggal ditahun 1958 akibat pemberontakan PRRI"
- A. Thalib , 1958 – 1961
- Zainuddin Abbas, 1961 - 1962 " Anggota TNI berpangkat mayor yang menjadi Pasirah Terakhir di Kabupaten Merangin"
Biuku Tanjung
Bedeng Rejo ( Bedeng Buai )
Pulau Rengas
Kungkai Jaya
Pasar Bangko dan Sekitarnya
Dusun Bangko
Dusun Mudo
Pulau Rengas dipilih sebagai pusat pemerintahan yang di kepalai oleh seorang Kepala Desa dan Mangku sebagai wakil yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintah pusat dan merencanakan kegiatan pembangunan dan pembinaan masyarakat. struktural pemerintah ini juga diisi oleh beberapa jabatan penting lainnya seperti Kodi ( Pemimpin Agama ) atau wali hakim yang membawahi pegawai syarak, terdiri dari katip , imam , dan bilal yang bertugas untuk setiap hal yang berhubungan dengan syari'ah agama islam, akan tetapi setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa maka penyelenggaraan pemerintahan dengan sistem adat ( igo ) tidak lagi digunakan.
SEJARAH KABUPATEN MERANGIN SEBELUM
KEMERDEKAAN
KEMERDEKAAN
M. Thambi mejabat sebagai "Hanjo Diri" yaitu orang yang bertugas melatih dan merekrut para pemuda dalam bidang kemiliteran yang bertempat di Pasar Bangko. selain itu beliau juga termasuk kedalam pasukan rahasia dari Giyigun (義勇軍 giyûgun) dan Heiho. Para pemuda inilah nantinya yang akan menjadi anggota BKR , TKR , dan TNI setelah Kemerdekaan.
Giyugun (義勇軍 giyûgun) berasal dari kata Giyu (sukarela) dan Gun (barisan atau tentara). Tidak seperti Heiho yang mengikuti aturan tentara Jepang, Giyugun memiliki Undang-undang Giyugun sendiri. Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) juga termasuk Giyugun tetapi hanya merujuk pada Giyugun yang dibentuk di Pulau Jawa. Perbedaan lainnya bahwa pangkat tertinggi Giyugun Sumatera adalah Letnan I (中尉 Chu-i), sedangkan di PETA adalah Kapten (大尉 Tai-i).
Ilustrasi Tentara Giyugun |
Pada mulanya Giyugun digunakan untuk mendidik penduduk Indonesia dalam menghadapi tentara Sekutu pada masa Perang Dunia Kedua. Namun umumnya mereka yang telah mendapat pendidikan di Giyugun menggunakan ilmu mereka untuk menghadapi Belanda dalam perang pasca kemerdekaan.
Heiho 兵補 adalah tentara pembantu terdiri dari bangsa Indonesia yang dibentuk oleh tentara pendudukan Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II. Pasukan ini dibentuk berdasarkan instruksi Bagian Angkatan Darat Markas Besar Umum Kekaisaran Jepang pada tanggal 2 September 1942 dan mulai merekrut anggota pada 22 April 1943.
SEJARAH KABUPATEN MERANGIN SETELAH KEMERDEKAAN
Untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan, maka diseluruh penjuru negeri termasuk Merangin membentuk kesatuan yang dikenal dengan nama PRB ( Pemuda Rakyat Bangko ) yang dipimpin oleh M. Thalam dan Ali Ajad yang bertugas untuk :
- Menyebarluaskan kepada masyarakat Bangko bahwa indonesia telah merdeka.
- Merampas senjata yang dimiliki oleh tentara jepang di wilayah Bangko dan sekitarnya.
- Mengumpulkan dana dari masyarakat untuk membantu pemerintah dalam mempertahankan kemerdekaan.
Tokoh - Tokoh Permesta |
Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado.
Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur.
Berdasarkan hasil Putusan Sidang Komite Nasional Indonesia (K.N.I) Sumatera di Bukit Tinggi tahun 1946 , ditetapkan bahwa Pulau Sumatera di bagi menjadi tiga sub Propinsi 15 April 1946
- Sub Propinsi Sumatera Utara yang meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli dengan Gubernut Muda Mr. M. Amin yang berkedudukan di Kota Raja.
- Sub Propinsi Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau dengan Gubernur Muda Dr.M.Djamil yang berkedudukan di Bukittingi
- Sub Propinsi Sumatera Selatan yang meliputi keresidenan Bengkulen/Bengkulu,Palembang, Lampung dan Bangka- Beliton/Bangka Belitung dengan Gubernur Muda Dr. A.K. Gani, yang berkedudukan di Palembang
Kabupaten Batang Hari | 5.804,83 km2
Kabupaten Merangin | 43,45 jiwa/km2
Kabupaten Kerinci | 68,4 jiwa/km2
Dalam perjalanan sejarah, dengan dibentuknya Propinsi Daerah Tingkat I Jambi, yang sekaligus juga dibentuknya Kabupaten Merangin (wilayahnya saat itu adalah Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Bungo Tebo) yang beribukota di Bangko. Kemudian ibukota Kabupaten Merangin dipindahkan ke Muara Bungo yang diputuskan melalui sidang DPRD.
Pasal 8
(1) Dengan dibentuknya Kabupaten Sarolangun, Kabupateri Sarolangun Bangko diubah namanya menjadi Kabupaten Merangin.
Logo Kabupaten Merangin |
Sumber :
Permesta , Guyigun , Haiho , Merangin , Ensiklopedia
Natamarga, Rimbun. Kedudukan dan Peran Pasirah Dalam Kepemimpinan Tingkat Marga di Pedalaman Palembang 1825 - 1942
Hj. Subhan | Efprianto S.Pd M.Pd | Halo Merangin
1 komentar:
Assalamualaikum bisa minta refrensi nya tentang sejarah Merangn sesudah kemrekemerd
Tuliskan komentar anda